Keunikan Gunung Tangkuban Perahu, Bandung

Gunung Tangkuban Perahu puncaknya datar dan memanjang mirip dengan perahu yang terbalik. Bentuk seperti ini jarang terdapat pada gunung-gunung berapi pada umumnya. Selain bentuknya yang unik, gunung ini juga tampak asri karena di lereng gunung tersebut terhampar kebun teh yang sangat luas. Dari puncak gunung ini, pengunjung dapat menikmati indahnya pemandangan alam dan kesejukan udara sambil melihat suasana Kota Bandung dari ketinggian.

Berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu, wisatawan juga dapat melihat keindahan sepuluh kawah yang letaknya berdekatan, yaitu Kawah Ratu, Kawah Upas, Kawah Baru, Kawah Lanang, Kawah Ecoma, Kawah Jurig, Kawah Siluman, Kawah Domas, Kawah Jarian, dan Pangguyangan Badak. Kawah-kawah itu mengeluarkan asap belerang yang menguap keluar dari sela-sela bebatuan yang berada di bagian bawah kawah itu.

Kawah Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas, merupakan tiga kawah Gunung Tangkuban Perahu yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Kawah Ratu bentuknya seperti mangkuk raksasa yang besar dan dalam. Jika cuaca cerah di kawah ini pengunjung dapat melihat dinding dan dasar cekungan kawah dengan jelas. Kawah Ratu merupakan kawah terbesar di gunung ini yang letaknya bersebelahan dengan Kawah Upas, kurang lebih berjarak sekitar 1.500 meter. Kemudian Kawah Upas bentuknya cukup dangkal dan datar pada bagian bawahnya, sehingga banyak ditumbuhi pepohonan liar di salah satu sisi dasar kawah itu. Sedangkan Kawah Domas bentuknya berupa cekungan yang mengeluarkan sumber air panas. Pada sumber air panas tersebut, para wisatawan dapat memanfaatkannya untuk membasuh badan, karena kandungan belerangnya dipercaya dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit kulit. Banyak juga wisatawan yang memanfaatkan sumber air panas itu untuk merebus telur ayam dengan cara memasukkan telur itu ke dalam genangan air panas selama kurang lebih 10 menit. Setelah sepuluh menit, telur tersebut akan matang dan sudah dapat dimakan.

Untuk menuju kawah-kawah itu, pengunjung dapat berjalan kaki melewati jalan setapak dengan jarak tempuh antarkawah yang tidak begitu jauh. Para pelancong juga dapat menyewa kuda tunggangan khusus untuk menuju lokasi Kawah Ratu.

Lokasi

Obyek wisata Gunung Tangkuban Perahu terletak di Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat, Indonesia.

Akses

Gunung Tangkuban Perahu terletak 30 km ke arah utara dari Kota Bandung. Untuk menuju lokasi obyek wisata ini, pengunjung dapat menggunakan kendaraan pribadi (mobil) maupun kendaraan umum (bus). Jika pengunjung menggunakan kendaran pribadi dari arah Subang maupun Lembang, untuk sampai ke lokasi melalui pintu masuk pertama, maka perjalanan dapat melewati samping bumi perkemahan Cikole. Namun, jika pengunjung ingin melewati pintu masuk kedua, maka perjalanan dapat menuju arah utara dari bumi perkemahan itu, dengan jarak tempuh sekitar 3 km. Pintu masuk pertama dan kedua di obyek wisata tersebut berada di jalan utama yang menghubungkan kawasan Lembang dengan Subang. Bagi pengunjung yang menggunakan kendaaran umum (bus) dari Kota Bandung, perjalanan dari Bandung sampai ke lokasi membutuhkan waktu kurang lebih 50 menit.

Harga Tiket

Untuk memasuki obyek wisata Gunung Tangkuban Perahu, setiap pengunjung dipungut biaya sebesar Rp 8.000 per orang (Oktober 2008).

Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di sekitar area bibir Kawah Ratu dan Kawah Upas banyak terdapat warung dan kios-kios yang menjajakan aneka macam makanan, minuman, dan masakan khas Lembang yaitu ketan bakar. Di area ini banyak pedagang kaki lima yang menjual aneka macam permainan anak-anak, boneka, topi, tas, kerajinan dari batu, pernak-pernik (gelang, cincin, senjata tajam khas daerah, selendang), alat musik angklung, batu dan serbuk belerang (obat alternatif penyakit kulit), tanaman bonsai, dan pedagang buah stroberi yang hilir mudik menawarkan dagangnya. Bagi pengunjung yang ingin mendaki gunung dengan naik kuda, terdapat persewaan kuda tunggangan yang dapat mengantarkan pengunjung mendaki gunung tersebut.

Fasilitas lainnya, terdapat mushala, halaman parkir luas, dan pusat informasi wisata. Tak jauh dari area wisata itu, tepatnya di daerah Lembang banyak terdapat penginapan maupun hotel kelas melati.

(Junardi/wm/21/10-08)

Saung Angklung Mang Udjo

Ternyata angklung bukan cuma milik orang desa, lo. Salah satu buktinya, kini banyak anak termasuk anak-anak bule yang belajar di Saung Angklung Mang Udjo (SAMU). Sanggar yang merupakan tujuan wisata di Bandung itu,kini dikelola Syam Udjo, salah seorang pewaris SAMU. Ia sendiri sibuk mengajar ke berbagai sekolah yang mengundang dirinya untuk mengajar angklung. “Hampir seluruh SD di Bandung dan sebagian Jabar punya pelajaran khusus musik angklung. Guru-guru dari luar Jawa pun banyak yang belajar di sini,” ujar Syam Udjo. Bahkan ia sering diminta mengajar angklung di Jakarta International School (JIS). “Minat anak-anak belajar musik angklung sangat tinggi.”

Padahal, di tahun 70-an kebanyakan peminat hanyalah orang dewasa. Anak-anak merasa malu jika belajar angklung. Soalnya, permainan angklung identik dengan pengamen jalanan yang suka memanfaatkan angklung sebagai alat mencari uang sehingga anak-anak lebih suka main gitar. “Tapi setelah diadakan inovasi terhadap musik angklung, termasuk pengubahan nada, mereka mulai tertarik.”

 

DARI PEMBUAT KE PENGAJAR

Menurut Syam Udjo, SAMU berdiri secara tidak resmi tahun 1959-1960. Awalnya, keluarga Mang Udjo hanya membuat angklung saja. “Sejak kecil, kami diajari ayah bagaimana mengubah batangan bambu menjadi alat musik tradisional. Lambat laun kami pun ingin belajar memainkannya. Kan, enggak lucu, bisa membuat alat musik, tapi tidak mampu memainkannya,” papar Syam Udjo.

Akhirnya, sang ayah, Mang Udjo (alm.) pun belajar angklung ke Daeng Sutigna yang memiliki sekolah angklung di Bandung. Bahkan saat Daeng pergi ke Australia, Mang Udjo-lah yang mengambil alih pengelolaan
angklung di sekolahnya. Daeng pulalah yang mengubah angklung dari musik pengiring atau backsound
hingga menjadi sebuah lagu tunggal, seperti lagu yang dibawakan Sherina atau Joshua. Nadanya pun sudah bisa ke oktaf lebih tinggi.

Mulailah, kesenian yang mulanya hanya dimainkan di dalam keluarga, menarik perhatian para tetangga. “Mereka pun antusias bergabung bermain bersama kami. Memang angklung lebih semarak jika dimainkan bersama-sama.Kadang-kadang setelah berlatih, kami menyusuri jalan raya untuk memainkan angklung biar lebih semarak,” kenangnya.

Walaupun kini sibuk mengajar seni angklung, keluarga Mang Udjo tetap membuat alat musiknya, bahkan kini diekspor ke mancanegara. “Bahan-bahannya didatangkan langsung dari Jampang Kulon, yaitu bambu hitam. Pemilihan bambu ini hanya pertimbangan estetika saja. Sebenarnya bambu biasa pun bisa, kok.”
Yang jelas, pembuatan angklung hanya bisa dilakukan orang-orang dewasa saja. “Anak-anak hanya diterangkan dari aspek teoritis, berupa tahapan pembuatan angklung.” Sebab, tuturnya, disamping memerlukan ketelitian, pembuatan angklung cukup rawan jika dikerjakan anak-anak. Pasalnya,
pembuatannya menggunakan pisau sangat tajam. “Jadi cukup berbahaya buat anak-anak.”

MELESTARIKAN SENI TRADISIONAL

Menurut Syam Udjo, motif pendirian SAMU bukan semata-mata bisnis, tapi lebih untuk melestarikan kebudayaan tradisional angklung. “Setiap sesi ‘kursus’ hanya dipungut bayaran 50 ribu rupiah.” Bila ingin menikmati pertunjukan angklung dipungut bayaran Rp 25.000 (turis lokal) dan Rp 35.000 (turis asing). Pertunjukan ada setiap hari pukul 09.00 dan 16.00 WIB.

Jika ingin belajar, anak-anak akan bergabung dengan pemain-pemain lama yang sudah mahir. Selain belajar cara membunyikan, anak juga belajar memegang, membaca dan melihat angka nada angklung.
Hanya saja, untuk bisa menggetarkan angklung dengan baik, menurut Syam, baru bisa dilakukan setelah kelas 4 SD. “Anak TK hingga kelas 3 SD, kemampuan tangannya masih sulit untuk menghasilkan bunyi angklung dengan bagus.” Jadi untuk mereka, sekadar mengenalkan dan mencintai budaya angklung saja. “Prinsipnya baru belajar bermain terlebih dahulu, memahirkannya nanti saja.”

Untuk anak-anak ini, pengajaran yang dilakukan memang berbeda dengan orang dewasa. “Dunia anak adalah dunia bermain, maka mereka tidak bisa belajar serius, tapi harus lewat cara bermain. Konsentrasinya juga
terbatas. Belajar belum terlalu lama, eh, mereka langsung kabur atau mengobrol dengan teman-temannya.” Karena itu, Syam berusaha menghibur anak-anak dengan cara membiarkannya bermain beberapa saat. Setelah puas barulah diajari angklung lagi.

Saung Angklung Mang Udjo,
Jl. Padasuka no. 118 Bandung,
Telp. (022) 727 1714
Saeful Imam. Foto: Ipoel/nakita